Bukankah Al-Qur’an berbahasa Arab dan kalau kita shalat juga harus menggunakan bahasa Arab, tidak boleh direkayasa memakai bahasa Jawa atau bahasa apa pun.
Jadi sesulit apa yang dialami, bila kita ber-Islam, maka sedikit banyak harus ber-Arab juga. Setidak-tidaknya dalam berbahasa.
Dapat kita bayangkan, betapa sulitnya agama ini ketika pertama kali datang di Jawa. Sebab ternyata hanya separuh fonem Arab (huruf Hijaiyyah) mempunyai padanan dalam fonem Jawa (dari Ha-Na-Ca-Ra-Ka).
Sedangkan transliterasi pun sungguh menjadi hal yang sulit. Bagaimana kita menulis; غ (ghayn), ظ (dhad), ض (dhla) atau ذ (dzal), misalnya, dengan aksara Jawa….?
Oleh sebab itu, para leluhur pendakwah Islam ditanah Jawa dahulu melakukan proses alih bunyi diantaranya; ض (dhla) jadi (la) ( ضوهور (dhuhur) jadi (lohor)), ( ع (‘ain) jadi (nga) ( علامين (‘alamin) jadi (ngalamin)) dan seterusnya.
Kemudian juga istilah-istilah yang sudah ada pada saat itu, masih dipergunakan sebagai padanan kata dalam Islam. Semisal sembahyang untuk salat, santri untuk murid, kiai untuk guru, langgar untuk masjid, dst.
Bahkan, lebih jauh lagi mereka kemudian memperkenalkan Islam kepada orang dengan budaya Jawa melalui plèsètan bunyi yang disesuaikan dengan pemahaman budaya tersebut untuk disisipkan nilai-nilai tertentu.
Tujuan dari semua itu adalah agar Islam dapat diterima oleh orang Jawa dengan mudah dan nyaman.
Dan pada kenyataannya tujuan itu sangat berhasil sehingga Islam masih bertahan dan berkembang di bumi Nusantara hingga saat ini.